Kenapa Jogja? Pertanyaan itu sangat sering ditanyakan oleh banyak sekali orang di kampungku setiap mereka tahu kalau aku akhirnya memilih berkuliah di Jogja. Pertanyaan yang kayaknya bakalan sangat mudah dijawab memang, tapi nyatanya jawabannya tak bisa pendek. Ada banyak alasan dan penjelasan tentang kenapa akhirnya aku memilih Jogja. Yang jelas aku sudah mantap untuk melanjutkan pendidikan di kota gudeg ini.
Setelah selesai berkuliah aku tak terus memutuskan untuk pulang. Aku berjuang mencari pekerjaan di kota pelajar ini. Lagi-lagi ada banyak orang bertanya, kenapa Jogja? Ada banyak kota besar lain yang bisa mempermudah jalanku dalam mencapai karir. Kota besar lain dengan peluang kerja yang jauh lebih besar dan pastinya dengan UMR yang lebih besar juga dari Jogja. Lalu kenapa bersikeras di Jogja? Lagi-lagi tak bisa menjawab pertanyaan ini dengan pendek. Bagiku, khususnya untuk orang-orang yang ingin menghabiskan sisa hidupnya mencari uang, akan sangat susah menjelaskan kenapa aku memilih untuk hidup di Jogja.
Jogja bikin orang jatuh cinta. Iya, sesederhana itu!
Salah satu alasan paling common kenapa orang suka Jogja adalah karena memang Jogja ini bikin jatuh cinta. Itu semua orang juga tahu sih. Bahkan orang yang datang ke Jogja dalam waktu dua hari saja akan merasakan bahwa kota ini sangat bikin jatuh cinta. Tapi, bagi yang berkuliah di sini seperti aku, rasa jatuh cintanya berbeda.
Para wisatawan datang ke Yogyakarta dan jatuh cinta dengan bangunannya, budayanya, makanannya, acara keseniannya. Tapi, bagiku dan mungkin bagi banyak orang lainnya, rasa jatuh cintaku pada Jogja tak sesederhana itu. Rasa jatuh cintaku pada kota ini dimulai dari sebuah sore di Bukit Bintang. Waktu itu pertama kali masuk Jogja. Aku berhenti di sebentar sambil melihat senja. Dan, satu persatu lampu yang kota Jogja hidup. Bukan hanya pemandangannya yang indah, tapi perasaan haru pada waktu itu susah diungkapkan.
Yang bikin Jogja loveable itu Aa’ burjo yang aslinya orang Jawa, pedagang angkringan yang sering sok kenal, supporter PSS Sleman yang sering melanggar lalu lintas sambil pakai RX King, bapak-bapak tetangga yang menyemprot burung peliharaannya. Bukan bangunan atau budaya, tapi suasananyalah yang paling bikin Jogja jadi tempat yang gampang dicintai.
Hujan 12 jam di Jakarta akan bikin stres, tapi hujan 12 jam di Jogja akan terasa syahdu.
Jogja adalah kota waras. Bukan kota santri atau kota industri.
Alasan lain kenapa aku memilih untuk akhirnya berjuang mencari pekerjaan di Jogja adalah karena kota ini masih waras. Mau cari hal baik hingga hal buruk pun ada. Kota ini manusiawi. Aku bukan orang super baik yang kerjaannya tiap hari beribadah. Aku juga butuh tempat nongkrong, tempat biliar, atau bahkan mungkin klub malam. Di Jogja semua itu ada, lengkap.
Mulai dari hal baik hingga hal buruk, mulai dari yang murah hingga yang mahal, mulai dari yang nyeni hingga yang logis, semuanya ada di kota dengan lebih dari 300.000 mahasiswa ini. Jika memutuskan bekerja di sini, harus siap. Yogyakarta tak seperti Semarang, Gresik, dan Sidoarjo yang memang kota industri. Di sini UMR-nya kecil. Tapi, UMR yang kecil itu kadang tertutup oleh tawa-tawa renyah di angkringan, teriakan-teriakan orang-orang di burjo saat nonton bola karena di kosnya tidak punya TV. Kecilnya UMR itu ditutupi oleh kenyamanan.
Membuat janji bertemu dengan teman yang jaraknya 20 kilometer bukan masalah di Jogja. Semacet-macetnya Jogja, 20 kilometer tidak akan memakan waktu 1 jam. Punya uang 50 ribu rupiah akan sangat riskan saat kita harus mengajak cewek makan di Surabaya, Semarang, atau Jakarta. Tapi, di sini masih banyak tempat yang murah dan enak. Selain itu tempatnya pun sangat bisa untuk bercengkrama. Intinya, Jogja mampu membuat manusia hidup dengan wajar, tidak buru-buru seperti orang Jakarta, tidak marah-marah seperti orang Surabaya, tidak sering kepanasan seperti orang Semarang, tidak kurang hiburan seperti orang Pacitan. Jogja adalah kota yang dalam bahasa sederhananya bisa dibilang “waras”.
Di sini aku menemukan kedewasaan, jodoh, dan mungkin masa depan.
Di luar semua alasan di atas, salah satu alasan kenapa akhirnya aku begitu mencintai Jogja adalah karena aku menemukan banyak hal di sini. Aku menemukan kedewasaan di sini. Berangkat dari kota yang bahkan tak punya bioskop, aku sempat kaget dengan gemerlapnya Jogja. Aku sempat jadi orang udik yang gumunan.
Di kota ini aku merasa patah hati ditinggalkan pacar, menemukan yang salah, dan akhirnya menemukan jodoh. Kota ini adalah saksi perjalanan hidupku yang biasa saja ini. Aku mendapatkan banyak pengalaman di sini, baik itu baik maupun buruk. Yang jelas, kota ini adalah kota tercinta yang akan aku tinggali dalam waktu yang sangat lama, atau bahkan hingga tua. Lalu, apa yang jadi alasanmu masuk ke Jogja?