Yogyakarta adalah tema dari berbagai macam puisi dan lagu. Tentu saja, hal itu bukanlah tanpa alasan. Kota Yogyakarta adalah kenangan bagi banyak orang. Bagi sekitar 300 ribu mahasiswa, kota ini adalah kota pelajar. Bagi yang sudah lulus dan pergi, kota ini adalah kota kenangan. Bagi para seniman, tentu saja Yogyakarta tak pernah sepi kesenian. Bagi para turis, kota ini adalah kota wisata yang tak kalah menarik dibanding Bali. Dan, bagi para pengusaha, Yogyakarta adalah tanah subur yang belum banyak ditanami.
Meski banyak sekali memiliki julukan, tak bisa dimungkiri bahwa Yogyakarta adalah kota pelajar. Kota ini adalah tempat duduknya kampus-kampus besar yang penuh sejarah. Namun, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, kota sudah bukan kota pelajar yang sama dengan yang dikenal orang 10 tahun lalu. Kota ini sudah menjadi rumah yang nyaman bagi penjaja modal dari luar. Dulu, ada ketenangan di kota ini saat masuk ke sebuah rumah makan dengan embel-embel “harga pelajar”. Kalau sekarang, pelajar yang mana dulu? Sekarang pelajar pun banyak macamnya. Nah, kali ini Casciscus ingin mengungkapkan beberapa perubahan besar yang ada di Yogyakarta dalam kurun waktu 10 tahun terakhir terutama terkait dengan para pelajar. Yuk, langsung disimak!
Makna istilah “harga pelajar” yang sudah harus di kalibrasi ulang. Pelajar Yogyakarta sudah tak semelarat dulu!
5 sampai 10 Tahun lalu, untuk urusan makan, pelajar Yogyakarta memiliki satuan harganya sendiri, “harga pelajar”. Tulisan ini tergantung di tempat-tempat makan mulai dari warung padang hingga kafe. Bagi yang belum mafhum dengan istilah “harga pelajar”, arti istilah ini adalah nasi yang hampir tumpah dari piring, sayur yang banyak, telur atau tempe, dan uang lima ribu rupiah. Iya, semurah itulah harga makanan di Yogyakarta beberapa tahun lalu.
Lalu bagaimana dengan saat ini? Kalau dilihat dari gaya hidup mahasiswa Yogyakarta saat ini, istilah “harga pelajar” sudah harus dikaji ulang. Saat ini mahasiswa Yogyakarta melakukan transaksi ekonomi hingga 7,2 triliun per tahun. Pelajar Yogya saat ini bukan tentang nasi melimpah dan lauk telur, tapi tentang Javanese Fried Rice yang harganya Rp50.000 satu piring. Bukan tentang kenyang, tapi tentang gengsi.
Kos-kosan bukan lagi tentang berbaur dengan tetangga. Tapi, tentang siapa yang lebih “ngartis”, lebih eksklusif.
Kos-kosan kumuh di gang Guru (daerah belakang UNY) berangsur-angsur mulai hilang. Bukannya mahasiswanya habis, tapi sudah mulai digusur oleh kos-kosan yang diberi embel-embel “eksklusif”. 10 tahun lalu kos kumuh tidak masalah, jarang tidur di kosan ini. Yang penting kumpul sama teman-teman kampus, belajar bareng. Saat ini, kos tidak ada AC bisa jadi masalah. Maklumlah, anak sekarang sabun saja ada 3 macam, sabun badan, sabun muka, dan sabun tangan. Takut kotor mereka.
Tak hanya di daerah kampus, saat ini sudah menjamur kos-kosan yang lebih mirip apartemen dibandingkan hunian mahasiswa. Tarifnya? Jangan ditanya lagi, harganya mulai 1 juta rupiah ke atas. Bisa jadi, biaya satu bulan di kos eksklusif setara dengan biaya sewa satu tahun di kosan biasa.
Tempat nongkrong bukan lagi tentang “guyub”. Tapi tentang siapa yang mampu ke tempat mahal dan tidak.
Orang yang sudah lama tinggal di Yogyakarta pasti ingat dengan Blandongan, Gubuk Seturan, Gubuk Sagan, Kopi Mato. Ya, tempat-tempat itu adalah tempat di mana kita bisa keluar uang 5 ribu rupiah dan nongkrong semalaman. Sekarang sebagian dari tempat-tempat kopi murah itu sudah sepi pengunjung. Beberapa bahkan sudah tutup. Ironisnya, warung kopi murah itu tidak tutup gara-gara minat nongkrong orang Yogyakarta sudah habis, bukan. Tapi, karena sekarang orang justru lebih minat nongkrong di tempat mahal.
Tentu saja tidak semua orang berpikir seperti itu. Nyatanya masih ada juga tempat kopi murah macam Kali Code yang masih hidup. Tapi, di Yogyakarta saat ini, lebih banyak mahasiswa yang rela merogoh kocek puluhan ribu rupiah demi 1 scope es krim yang bisa difoto dibandingkan dengan nongkrong berbiaya lima ribu rupiah di pinggiran kali.
Bukannya buruk, hanya saja, takutnya banyak anak-anak yang datang ke Yogyakarta ini akhirnya hanya bisa belajar tentang pelajaran di kampus saja, tidak belajar tentang kearifan kota yang begitu dicintai oleh banyak orang ini. Bukan juga menolak kemajuan zaman. Hanya saja, takutnya anak-anak ini terlalu nyaman dan akhirnya justru tak menghargai perjuangan dalam menuntut ilmu.
Tentu saja tiga hal di atas adalah tanda dari perkembangan. Dan, tentu saja, tidak salah. Hanya saja, Yogyakarta dari dulu bukan tentang ngopi di tempat terkenal atau mahal, tapi tentang ngopi bersama teman-teman. Bukan tentang tidur di kamar ber-AC, tapi tentang tidak tidur karena menikmati syahdunya jalan Malioboro bersama teman-teman. Bukan tentang siapa yang makan di tempat mahal, tapi tentang siapa yang mampu menemukan warung paling murah. Bukan tentang eksklusifitas, tapi tentang beramah-tamah dengan simbah-simbah, tetangga yang setiap pagi menyapu halaman depan rumahnya.