Membahas soal kota Jogja memang nggak pernah ada habisnya. Kota yang memiliki sebutan kota pelajar ini memang merupakan salah satu kota yang dianggap paling tak terlupakan oleh banyak orang. Baik bagi orang-orang yang hanya sekali dua kali pernah ke Jogja atau bagi mereka yang pernah tinggal di kota ini, semuanya merasa bahwa Jogja adalah kota yang mengandung banyak cerita. Mulai dari soal romantisme hingga cerita perjuangan anak kos yang orang tuanya memiliki uang pas-pasan, Jogja selalu mampu menjadi sumber berbagai macam cerita.
Nah, kali ini Casciscus akan sedikit bernostalgia dengan Jogja. Yuk, kita bandingkan Jogja yang sekarang dengan Jogja 10 tahun lalu. Tentu saja banyak yang sudah berubah, namun apa saja sih perubahan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari anak muda di Jogja?
Harga nasi telor burjo yang saat saat ini tak bisa dibilang makanan paling murah lagi.
Bagi orang-orang yang pernah merasakan hidup sebagai anak kos di Jogja, nasi telor A’a burjo yang digoreng dengan minyak yang usianya sudah berhari-hari pasti merupakan kenangan yang membuat tersenyum. Ya benar, nasi telur burjo ini dikenal sebagai salah satu makanan paling murah 10 tahun yang lalu. Makanan penolong bagi mahasiswa yang memiliki uang jajan pas-pasan.
Dulu, nasi telur dihargai 3.500 rupiah saja. Bayangkan, nasi lengkap dengan telur dan sayuran dihargai segitu. Apa nggak surga bagi anak kos itu? Tapi sekarang, 10 tahun kemudian, harga nasi telur tak lagi seramah itu. Sekarang nasi telur di burjo dijual rata-rata dengan harga 7.500 hingga 8.500 rupiah. Jauh ‘kan bedanya?
Harga parkir yang dulunya cuma receh sekarang sudah jadi uang kertas.
Kalau bicara soal parkir, mungkin Jogja adalah salah satu kota dengan pengaturan parkir paling buruk di antara jajaran kota besar lainnya. Banyak tempat parkir yang dikelola oleh oknum “swasta” yang uang hasil tarif parkirnya masuk ke kantong si petugas parkir itu sendiri. Namun, meskipun ada banyak sekali pengelolanya, ternyata kenaikan harga parkir di seluruh Jogja naik dengan waktu yang relatif sama.
Dulu, 10 tahun lalu, harga parkir masih berada di kisaran Rp500, masih golongan receh. Di tempat-tempat wisata macam Malioboro, harga parkir sudah berada di angka 1.000 rupiah. Namun sekarang, 10 tahun kemudian, bahkan warnet saja memiliki tarif parkir 2.000 rupiah. Jauh banget ‘kan naiknya?
Nasi kucing yang dulunya murah dan besar, sekarang berharga cukup mahal dan lebih kecil.
Salah satu perubahan yang sangat kentara dalam waktu 10 tahun terakhir ini terletak pada nasi kucing di angkringan. Nasi kucing dulunya adalah andalan para mahasiswa yang kantongnya tipis, namun saat ini berbeda. Dulu, nasi kucing yang cukup besar dihargai Rp1.000. Itu sudah lengkap dengan sambal yang cukup banyak atau oseng-oseng tempe super enak yang juga cukup banyak.
Saat ini, harga nasi kucing berada di kisaran Rp2.000 hingga Rp2.500. Selain itu, ukurannya pun mengecil dan lauk yang ada di dalamnya juga semakin sedikit. Yang jelas, kalau dihitung-hitung, beli nasi kucing saat ini kadang malah justru lebih mahal dibandingkan nasi rames. Sedih, ‘kan?
Warnet yang jadi pusat kebudayaan anak muda Jogja pun sekarang memiliki desain dan tarif yang jauh berbeda.
Bagi orang luar kota, mungkin nggak akan paham betapa penting warnet dalam kehidupan anak muda Jogja. Selain sebagai tempat untuk browsing, warnet zaman dulu memiliki desain yang lebih tertutup dan sangat memungkinkan untuk melakukan hal-hal mes*m. Anak-anak cowok 10 tahun lalu pasti sangat kenal dengan warnet yang memang menyimpan “pelatihan kedewasaan” untuk para pemuda Jogja.
Saat ini, warnet sudah berubah. Meskipun menjadi pusat kebudayaan anak muda Jogja, warnet berubah menjadi gudang untuk mengkonsumsi file hiburan seperti film, musik, game, dan lain-lain. Selain itu desainnya juga menjadi lebih terang dan jauh dari kesan mes*m. Tarifnya pun jadi jauh lebih mahal. Jika dulu 1 jam hanya dikenai tarif antara 1.500 hingga 3.000 rupiah saja, saat ini mayoritas warnet bagus memiliki tarif diatas 6.000 rupiah.
Yang telah diungkapkan di atas adalah 4 dari banyak hal keseharian yang berubah di Jogja dalam waktu 10 tahun belakangan. Tentu saja perubahan adalah hal yang mutlak dan tak mungkin dihindari. Tapi, nggak salah dong kalau kadang kangen dengan masa lalu dan ingin sekadar bernostalgia. 😀