Salah satu hal yang menjadi tren belakangan ini adalah PV atau personal vaporizer. Alat ini sejatinya sudah cukup lama ada namun baru mencapai puncak tren di Indonesia dalam waktu 2 tahun terakhir. Seperti halnya barang lainnya, tren ini bisa tumbuh salah satunya karena gengsi anak muda Indonesia yang setinggi langit.
Alat yang dalam keseharian sering disebut Vape atau Vapor ini bisa menjadi karena mahal. Aneh bukan? Iya, mungkin Indonesia adalah satu-satunya negara di mana salah satu syarat untuk menjadi tren adalah harus mahal. Meskipun sudah ada beberapa artikel dan percobaan yang bisa membuktikan bahwa Vapor memang lebih baik dari rokok, nampaknya anak muda Indonesia nggak peduli itu. Bukannya menuduh, nampaknya mereka hanya beli Vapor biar keren.
Banyak anak yang nge-Vape tapi juga masih merokok. Ini jelas sebuah hal yang sia-sia.
Bukti pertama bahwa mayoritas anak muda nge-Vape buat gengsi adalah bahwa masih ada banyak sekali orang yang menggunakan Vape tapi masih merokok. Ya memang tidak salah sih, hanya saja hal ini bisa jadi bukti bahwa mereka membeli Vape yang harga paling murahnya saja mencapai ratusan ribu ini bukan demi berhenti merokok.
Memang sah-sah saja kalau orang beli Vapor cuman buat gaya. Nggak masalah. Uang juga uang dia sendiri. Yang menjadi masalah adalah sudah sering kita membiarkan hal seperti ini dimaklumi. Menurutku, sudah saatnya orang-orang di Indonesia menyadarkan diri sendiri dari menjadi korban industri.
Banyak orang yang nge-Vape tapi ngga tahu dasar-dasar Vape. Jadinya bahaya, ‘kan!
Pasti ingat beberapa bulan lalu ada kasus di mana seorang gadis jatuh sakit karena paru-parunya dipenuhi oleh cairan. Setelah itu ada juga seorang pemuda yang mukanya terluka parah karena Vape yang meledak. Logikanya, Vape tidak mungkin dijual bebas kalau tingkat keamanannya rendah. Sebelum mencapai pasar, Vape sudah menjalani ratusan atau bahkan ribuan tes. Jadi, jika sampai meledak hanya dua penyebabnya, Vape-nya palsu atau penggunannya yang kurang paham cara pemakainya.
Harusnya kalau memang Vape ingin digunakan secara positif dan tidak hanya buat gaya, orang-orang mempelajari dulu dengan teliti dan baru memakainya. Vape bukan hal yang rumit, tapi juga bukan hal yang bisa disepelekan begitu saja. Banyak faktor yang bisa bikin Vape jadi berbahaya kalau kita tak mengetahui penanganannya.
Pembeli yang masih di bawah umur tapi sudah mampu membeli perlengkapan Vaporizer dengan harga jutaan.
Dalam poin ini, yang harus disoroti tak hanya para pengunanya saja, tapi juga para pedagangnya yang kadang hanya mementingkan keuntungan semata. Di luar negeri, pengguna Vape benar-benar dibatasi oleh umur. Tidak hanya para peminatnya, para penjualnya pun sangat disiplin dengan batasan umur ini. Lalu, apakah industri Vaporizer di Indonesia mampu melakukan kedisiplinan semacam ini? Mungkin masih belum.
Hal ini adalah masalah yang sangat urgent untuk diselesaikan, tapi masalahnya para pelaku dan pedagang Vaporizer nampak tak peduli dengan hukum larangan ini. Plakat 18+ menjadi hiasan belaka di toko-toko Vapor. Dalam kenyataannya, banyak anak-anak underage yang bisa masuk dan bahkan bisa membeli barang di toko-toko tersebut. Ini sudah jelas salah!
Artikel ini bukan dibuat untuk mendeskreditkan Vapor yang saat ini sedang sangat berkembang di Indonesia. Jujur, aku sendiri adalah orang yang juga menggunakan Vapor. Sudah 6 bulan ini aku benar-benar lepas dari rokok berkat bantuan personal vaporizer. Secara fisik pun aku juga merasakan bahwa banyak hal yang berubah, napas menjadi lebih ringan dan lebih bisa diajak olahraga berat. Oleh karena itu, artikel ini dibuat bukan untuk memusuhi Vapor, tapi untuk menjadi reminder supaya segala “aktivis” Vapor di Indonesia, baik itu pengguna atau pedagang, bisa mengembangkan industri ini dengan menunjukkan langkah-langkah yang beradab. Semua harus tahu hukumnya, ilmunya, dan paham alur industrinya. Biar, paling tdak dalam urusanĀ Vapor, kita nggak jadi bangsa yang tertinggal terus.